Kho Edbert Putra Khodiyat
Teman-teman pasti mengalami yang namanya kegalauan. Kegalauan itu bisa datang kapanpun dan dimanapun kita berada, bahkan saat kita lagi senang. Misalnya saat kamu sedang berbunga-bunga dibales chat sama gebetan, kamu jadi galau karena abis itu gebetanmu tidak bales chat . Aku menanyai teman-teman member Buddhist Worship apa yang membuat mereka galau saat itu. Jawabannya bervariasi. Ada yang sedang galau mengenai karir, percintaan, perkuliahan, dan masih banyak lagi.
Terkadang kita bisa bertanya-tanya pada diri sendiri, “Apakah galau itu wajar?” Pada saat setelah melihat empat peristiwa penting yaitu melihat orang tua, orang sakit, orang meninggal, dan pertapa, Pangeran Sidharta merasakan kegalauan yang luar biasa. Beliau bertanya-tanya, "Kenapa ada orang tua, orang sakit, orang meninggal, dan pertapa?" karena beliau sebelumnya belum pernah melihat 4 peristiwa tersebut. Karena kegalauan itu maka beliau mulai mencari jalan untuk melenyapkan penderitaan itu. Bahkan karena kegalauannya itu beliau memberi nama anaknya Rahula yang artinya adalah “belenggu”. Seorang Pangeran Siddharta pun masih bisa merasakan kegalauan, apalagi kita yang hanyalah manusia biasa.
Menurut Dhamma, penyebab kegalauan itu adalah ketika apa yang kita inginkan tidak sesuai dengan kenyataan. Nah ini rasanya sakit, marah, sedih, frustasi, kecewa ya temen-temen. Nah ini justru tanpa kita sadari dapat menciptakan masalah yang baru. Misalnya saat kita sedang galau dalam menghadapi ujian, kita memikirkan hal itu terus menerus hingga kita sulit untuk tidur. Sulit tidur itu sendiri bisa memunculkan masalah baru seperti belajar jadi tidak fokus, emosi tidak stabil, bahkan bisa berdampak pada kesehatan fisik kita. Walaupun galau itu adalah penderitaan dan dapat menciptakan penderitaan yang baru namun bukan berarti ia adalah sesuatu yang harus kita benci. Kita bisa bersahabat dengan galau sebagai cara untuk mengatasinya.
Yang perlu teman-teman ketahui adalah galau tidak selamanya, karena ia hanyalah sebagai perasaan yang datang kemudian pergi. Setelah pergi pun galau juga bisa datang lagi. Buddha di dalam Samyutta Nikaya 56, 11, berpesan bahwa: apapun yang muncul itu semuanya pasti akan berlalu. Galau itu sendiri juga akan berlalu sehingga kalau temen-temen lagi galau, bisa nih katakan pada diri sendiri “ini pun akan berlalu, yuk semangat!”. Jadi dengan kita mengenalinya, itu dapat membantu kita untuk tidak menciptakan masalah baru karena kegalauan itu.
Walaupun galau itu adalah sebuah masalah namun bukan berarti kita harus membencinya dan menolak kehadirannya. Karena galau itu bukan sesuatu yang buruk. Justru dengan membencinya dan menolaknya malah galau itu bisa muncul berlipat-lipat yang ujung-ujungnya malah galau itu tak kunjung pergi. Penelitian menunjukkan penerimaan terhadap emosi negatif termasuk galau itu dapat meningkatkan kesehatan mental (Baer, Smith, & Allen, 2004; Baer et al., 2008; Cardaciotto, Herbert, Forman, Moitra, & Farrow, 2008; Hayes et al., 2004; Kohls, Sauer, & Walach, 2009).
Cobalah untuk mulai berhenti menolak perasaan galau, namun justru merangkul dan menganggapnya sebagai sahabat. Cobalah mengatakan “Hai sahabatku galau, aku menyambutmu dengan senang hati, kamu tidak membuatku menderita kok.” Bahkan rasa galau itu bisa menjadi guru yang menuntun kita menuju kebahagiaan. Misalnya, aku saat galau bisa tiba-tiba mendapat suatu insight yang justru membuatku belajar dari masalah itu. Jadi kita bisa mengucapkan terimakasih padanya dan menerimanya perasaan galau itu.
Kita menerima kegalauan itu apa adanya tanpa kita menghakiminya sebagai sesuatu yang buruk, “ya sudahlah memang saat ini aku sedang galau.” Kita merelakan kegalauan itu hadir dan kita mulai bisa untuk melepaskannya. Kita belajar untuk tidak melekat padanya namun memasrahkan kepada Buddha karena Buddha itu adalah sumber kekuatan. Melalui kebijaksanaan Buddha, segala kegalauan lenyap.
Pernah suatu ketika, aku galau karena merasa tugas perkuliahan yang datang terus menerus. Jadi tugas A belum selesai lalu muncul tugas B, tugas A baru selesai ada tugas C yang menanti. Lalu aku merasa lelah dan kesal, namun aku belajar untuk menyadari bahwa mau sampai kapanpun, pasti ada tanggung jawab yang selalu menanti. Misalnya saat sekarang kuliah, tanggung jawabnya adalah mengerjakan tugas dan mendapat nilai yang bagus kemudian saat sudah menikah, kita memiliki tanggung jawab untuk menafkahi keluarga atau mendidik anak dan seterusnya. Jadi setelah berpikir demikian, pelan-pelan ini aku mulai belajar untuk menerimanya lalu lepaskanlah. “Ya sudahlah, aku kerjain saja tugasnya”. Dengan melepas rasa galau itu, kita bisa merasakan kelegaan seperti ada beban yang hilang.
Resep kebahagiaan paling jitu dari Sang Buddha adalah hidup pada saat ini karena kebahagiaan bukan terletak di masa lalu dan masa depan namun saat ini. Yang sering menjadi problem adalah pikiran kita dasarnya suka travelling. Misalnya saat lagi makan, kita malah memikirkan aktivitas yang mau dilakukan besok atau kita makan sambil lihat instagram dan bales chat. Akibatnya kita sulit untuk merasakan kenikmatan dari makanan itu karena kita cenderung memikirkan masa depan atau masa lalu.
Nah bagaimana cara hidup saat ini? Kita bisa bertanya pada diri kita sendiri “Saat ini aku sedang apa ya?” Pertanyaan ini kelihatannya simple namun kita bisa langsung sadar, “oh, saat ini saya sedang makan.” Pikiran yang tadinya travelling bisa kembali ke saat ini dan kita menjadi fokus terhadap apa yang sedang kita lakukan. Ketika kita bisa hidup pada saat ini, kegalauan ini bisa kita kendalikan.
Nah itu tadi, adalah beberapa cara untuk merangkul kegalauan itu. Ingat galau itu bukan sesuatu yang buruk namun kenali sifatnya, belajar untuk menerima, dan melepaskan, dan hidup saat ini. Cara-cara ini bisa membantu kita saat sedang galau dalam menghadapi masalah dan kita bisa menyelesaikan masalah tersebut. Selamat mencoba!!!
Referensi
Bhikkhu Bodhi. 2010. Khotbah-Khotbah Berkelompok Sang Budfha Terjemahan Baru Samyutta Nikaya Buku 3 Khandhavagga. Jakarta: Dhammacita Press
Chah, Ajahn. 2013. Ini Pun Akan Berlalu. Jakarta: Ehipassiko Foundation.
Ford, B. Q., Lam, P., John, O. P., & Mauss, I. B. (2018). The psychological health benefits of accepting negative emotions and thoughts: Laboratory, diary, and longitudinal evidence. Journal of Personality and Social Psychology, 115(6), 1075–1092. https://doi.org/10.1037/pspp0000157
Vajiramedhi V, 2020. The Miracle Of Suffering Seni Mengubah Penderitaan Menjadi Kebahagiaan. Jakarta: Yayasan Karaniya.