Kho Edbert Putra Khodiyat
Hai temen-temen Buddhist Worship, kalian pasti udah ga asing lagi dengan kalimat "Hidup adalah dukkha". Kalimat ini ciri khas Buddhis banget ya dan bisa kita temui di Tripitaka, berbagai ceramah bhante, dan buku-buku Buddhis lainnya. Tapi apa sih dukkha itu sendiri?
Hidup adalah dukkha sering disalahpahami artinya, yaitu hidup adalah penderitaan. Dalam Psikologi Buddhis, dukkha juga diartikan sebagai suatu ketidakpuasan (Ratnayaka, 2018). Wah kalau gitu, berarti hidup kita selalu menyedihkan dong?
Salah.
Definisi di hanya sebagian kecil yang menggambarkan apa itu dukkha.
Kalau gitu, apa aja?
Dukkha Adalah Kenyataan Hidup
Dalam Samyutta Nikaya Buddha menjelaskan tiga sifat Dukkha yakni :
Pengalaman tidak menyenangkan
Kita pasti pernah bahkan sering mengalami sesuatu yang tidak menyenangkan misalnya dighosting, bosan, dimarahi orang lain, sakit hati, dan masih banyak lagi. Buddha mengajarkan ada delapan macam penderitaan yaitu lahir, tua, sakit, mati, berpisah dengan yang dicintai, bertemu dengan yang tidak disukai, keinginan kita tidak tercapai, dan penderitaan yang muncul dari kelemakatan tubuh dan batin kita. Walaupun kita itu sangat akrab dengan pengalaman yang tidak menyenangkan namun bukan berarti hidup kita ga enak terus. Banyak juga kebahagiaan yang kita rasakan misalnya ngobrol, ketawa bareng sama sahabat , bertemu komunitas positif seperti Buddhist Worship, makan enak, menyalurkan hobi dan passion, dan masih banyak lagi. Jadi bahagia dan sedih itu mengisi warna kehidupan kita, dimana hal ini membawa sifat Dukkha yang kedua.
Selalu berubah
Bahagia dan sedih datang bergantian karena hidup ini selalu berubah. Ga ada yang namanya sedih terus dan juga ga ada yang namanya bahagia terus. Misalnya aja pas weekend, kita bisa santuy untuk melakukan hal hal yang kita sukai namun kita ga bisa selamanya menikmati weekend karena setelah weekend kita akan kembali beraktifitas seperti biasa misal kerja, kuliah ,sekolah, dan lain-lain. Sama juga halnya saat kita lagi sedih, bisa aja terus kita nonton film yang akhirnya membuat kita jadi bahagia.
Karena selalu berubah, hidup kita ini dipenuhi dengan ketidakpastian. Apa sih maksudnya? Kita tidak tahu dengan pasti kapan kita akan bahagia dan kapan kita sedih sehingga kebahagiaan dan kesedihan itu tidak bisa diandalkan. “Aku bakal bahagia terus seumur hidup“, “Dah lah, seumur hidupku memang menyedihkan”, kan ga mungkin itu terjadi, yaitu karena adanya sifat Dukkha yang kedua.
Ada sebab akibat
Segala sesuatu yang terjadi dalam hidup kita ini ada sebab-sebab yang mempengaruhi. Misalnya bahagia abis dipuji sama gebetan “ Wah kamu keren ya”, “Kamu cakep ya”. Pujian ini adalah sebab yang membuat kita bahagia, namun tidak setiap saat kita akan dipuji oleh gebetan kita, sehingga seiring pujian itu berubah, maka kebahagiaan kita juga berubah. Sama juga dengan saat kita lagi jengkel karena pesanan makanan kita ga kunjung datang ditambah lagi rasa lapar. Rasa lapar dan pesanan yang tak kunjung datang ini adalah sebab yang menimbulkan kejengkelan, namun kejengkelan kita hilang saat pesanan ini telah datang dan kita menikmati makanan tersebut. Jadi segala perasaan kita itu selalu muncul dan lenyap seiring dengan muncul dan lenyapnya sebab-sebabnya. Itu tadi sifat Dukkha yang ketiga.
Sifat Dukkha tadi pada dasarnya adalah netral namun menjadi suatu problem karena kita tidak memahaminya sebagaimana adanya. Kita melekat terhadap sesuatu yang menyenangkan dan menggengam apa yang kita senangi, serta menolak apa yang tidak kita sukai.
Kalau dari penjelasan Dukkha yang seperti itu, bisa dianggap bahwa Dukkha adalah sesuatu yang menakutkan atau mengerikan, namun ternyata Dukkha menjadi jalan menuju kebahagian. Kok bisa ya? Sang Buddha mengajarkan 4 kebenaran mulia dimana itu diawali dengan Dukkha. Itu artinya kebahagiaan itu berawal dari memahami Dukkha, lalu barulah kita bisa melangkah di jalan kebahagiaan. Tapi, gimana ya caranya?
Menerima Dukkha
Dukkha bukan untuk dihindari atau kita tolak, namun Dukkha itu untuk dipahami sebagai kenyataan hidup “Memang aku selalu berdampingan dengan kebahagiaan dan kesedihan, memang hidup itu selalu berubah, memang hidup itu ada sebab yang saling mempengaruhi”. Dengan menyadarinya, kita belajar untuk menerima Dukkha apa adanya. Tetapi kita tidak berhenti hanya menerima secara pasif saja, contohnya “hidup kan selalu berubah, terus ngapain dong aku berusaha buat sukses?” Ingat bahwa itu bukan apa yang Buddha ajarkan, Buddha itu mengajarkan setelah kita menerima Dukkha, kita berjuang untuk terus memperbaiki diri kita.
Bersyukur
Adanya Dukkha, justru membuat kita bisa belajar untuk bersyukur pada kehidupan ini karena Dukkha mengajarkan bagaimana kita bahagia. Penelitian menunjukkan bersyukur bisa meningkatkan emosi positif yang membantu kita dalam mengurangi stres (e.g. Wood et al. 2007; Lambert et al. 2012). Kita mengapresiasi apa yang kita miliki tanpa menyia-nyiakannya dan juga hidup pada saat ini tanpa menyesali masa lalu serta mencemaskan masa depan. Dengan bersyukur karena adanya Dukkha, kita juga malah bisa untuk berbuat baik dengan melaksanakan jalan mulia berunsur delapan. Misalnya di Buddhist Worship, kita bisa menyalurkan hobi dan skills kita untuk menyebarkan Buddha Dhamma. Jadi melalui bersyukur terhadap Dukkha, temen-temen bisa mengurangi perilaku yang tidak bermanfaat sehingga hidup kita ini diisi dengan kebaikan.
Spread Love
Kita tidak sendirian dalam mengalami Dukkha, namun orang lain juga mengalami hal yang sama. Karena hidup kita semua masih diliputi Dukkha, maka kita belajar untuk tidak menyakiti mereka. Kita mulai berpikir "kita disini terikat dengan Dukkha jadi buat apa aku benci, iri, dendam, dan marah sama mereka?".
Lalu kita belajar untuk menyebarkan cinta pada siapapun. Kita berdoa agar mereka selalu bahagia dan segala masalah bisa teratasi dengan baik dan juga membantu mereka sesuai dengan kemampuan kita. Saat menyebarkan cinta, kita bisa menjadi lebih terkoneksi dengan orang lain. Keinginan hanya mementingkan diri sendiri mulai berkurang dan kita selalu dikelilingi oleh cinta. Penelitian menunjukkan perasaan terkoneksi secara sosial bisa meningkatkan kesehatan mental kita (Martino et al., 2017). Oleh karena itu temen-temen yuk kita sebarkan cinta.
Memaknai Hidup
Melalui cinta dan kebaikan, hidup kita akan lebih bermakna. Makna hidup bukan terletak pada kesuksesan yang kita capai, tapi seberapa besar kesuksesan kita itu bisa bermanfaat buat orang lain. Ada quote keren dari seorang pencipta logoterapi dan penulis buku “A Man Search for Meaning”, yaitu perhatian seseorang bukan mencari kesenangan atau menghindari kesedihan tapi untuk menemukan makna hidupnya. Pertanyaannya, apakah harus sukses dulu baru bisa menemukan makna hidupnya?
Jelas engga dong, kita bisa menemukan makna hidup kita kapan aja. Apalagi temen-temen Buddhist Worship punya skills, passion, ilmu yang bisa kita bagikan pada orang lain. Temen-temen boleh coba nih, setelah membantu orang lain apa yang kalian rasakan dan jadikan ini sebagai habits. Kebiasaan ini bisa jadi salah satu cara temen-temen buat menemukan makna hidup.
Temen-temen itu tadi beberapa tips bagaimana kita menggunakan Dukkha sebagai jalan untuk menuju kebahagiaan. Selamat mencoba!
Referensi
Bohlmeijer, E. T., Kraiss, J. T., Watkins, P., & Schotanus-Dijkstra, M. (2021). Promoting Gratitude as a Resource for Sustainable Mental Health: Results of a 3-Armed Randomized Controlled Trial up to 6 Months Follow-up. Journal of Happiness Studies, 22(3), 1011–1032. https://doi.org/10.1007/s10902-020-00261-5
Candima, V., & Guide, C. N. D. (2020). “ Buddhist Concept of Dukkha ( Suffering ) on the World .” 158–166.
Frankl, E Victor. (2018). Man’s Search For Meaning. Jakarta : Noura Books
Martino, J., Pegg, J., & Frates, E. P. (2017). The Connection Prescription: Using the Power of Social Interactions and the Deep Desire for Connectedness to Empower Health and Wellness. American Journal of Lifestyle Medicine, 11(6), 466–475. https://doi.org/10.1177/1559827615608788
Rathnayaka, R. (2018). Psychology Reflected in Buddhism and Western Psychology: A Brief Elucidation. SOSHUM : Jurnal Sosial Dan Humaniora, 8(2), 150–162. https://doi.org/10.31940/soshum.v8i2.988