Buddhist Worship
Ngomongin tujuan hidup memang kayaknya berat banget ya. Apalagi, buat kita-kita kaum milenial yang mungkin sekarang masih sekolah, kuliah, atau baru lulus. Pasti kita sering banget nanya, seenggaknya ke diri sendiri, pertanyaan semacam:
Habis lulus aku harus ke mana?
Papa Mama bilang aku harus sukses, tapi sukses yang kayak gimana?
Hmmm, bahkan jangan-jangan, ada yang pertanyaannya udah sampai ke:
Sebenernya, apa aku dilahirin cuma buat ngabisin karma ya?
Alhasil, enggak jarang kita jadi mikir keras sampai overthinking malem-malem dan insomnia, amit-amit.
Menariknya nih, orang Jepang biasa aja sama pertanyaan eksistensial itu.
Mereka punya prinsip ikigai, yang arti harfiahnya memang “alasan untuk hidup”. Prinsip itulah yang bikin mereka hidup lebih terarah dan punya harapan hidup tinggi. Survei Jepang tahun 2008 sempet nyebutin kalo ternyata penduduk yang punya ikigai lebih sehat dan tingkat stresnya kecil kalo dibandingin sama yang enggak punya [1].
Membagongkan ya?
Masalahnya, prinsip ikigai yang sekarang pasti udah banyak diulas di buku, konten media sosial, atau video Youtube dan sebutannya macam-macam itu beneran manjur enggak sih?
Terus, kalo dari sudut pandang Buddhisme, ikigai itu kayak gimana?
Mari kita bahas berdasarkan pilar-pilar ikigai.
Pilar 1. Awali dengan Hal Kecil
Seperti yang udah dibahas di awal, pikiran kita pasti melayang jauuuh banget kalau udah ditanya tujuan hidup. Bayangan kita adalah sesuatu yang besar kayak punya mobil, jadi wirausaha, atau traveling ke seluruh dunia. Yes, itu sama sekali enggak salah.
Tapi, apa kita harus punya tujuan sebesar itu, baru hidup kita bermakna dan bahagia?
Enggak.
Faktanya, minum kopi pagi-pagi pun bisa jadi tujuan hidup kita! Buat lansia Jepang, sekadar senam pagi bareng temen-temen atau gendong cucu udah bikin semangat hidup loh. Dan, antara senam pagi dan jadi wirausaha itu berdiri setara, enggak ada yang lebih besar atau kecil, enggak bisa dibandingin [1].
Intinya, kamu bisa nemuin makna hidup di mana aja, yang bisa bikin kamu punya alasan untuk bangun pagi.
Dalam Devadaha Sutta, juga disebutin kalau semua fenomena perlu dilihat dengan kesetaraan. Kita enggak menghakimi mana yang lebih baik atau buruk, besar atau kecil, tapi menganggap keduanya sama-sama bisa ngasih pengalaman buat kita. Jadi, kita enggak cuma tertarik sama hal yang bagus ataupun berusaha menghindari hal yang jelek [2].
Loh, apa berarti kita enggak boleh ngejar sesuatu yang besar?
Boleh-boleh aja kok, tapi harus diingat.
Seringnya, kita sering menganggap sesuatu tuh “aku banget”, dan “aku harus” dapetin karena itu bakal bikin “aku bahagia”. Kita jadi berusaha mati-matian buat dapetin hal itu. Alhasil, kalau kita gagal, kita jadi stres dan menghakimi diri sendiri.
Padahal, apa yang kita pengen enggak bakal selalu ada di sana. Kita enggak bisa yakin itu enggak bakal berubah sampai kita dapetin.
Misalnya, kita pengen beli barang di marketplace. Eh besoknya karena diskon, barangnya abis dan kita enggak dapet.
Pada akhirnya, kita melepasnya karena hal itu memang harus dilepas. Kita enggak bisa menggenggamnya terus. Kita mau tidak mau menerima perubahan itu [3].
Jadi apa harus dibiarin mengalir aja gitu?
Bukan!
Buddha kasih tau kita di dalam Upakkilesa Sutta pakai perumpamaan: jika kita menggenggam seekor burung puyuh terlalu kuat, burung itu akan mati. Namun, jika kita tidak begitu menggenggamnya, burung itu akan terbang.
Kita butuh tekad untuk naruh kita balik ke jalur yang bener. Dengan tekad, kita tau mana yang harus dilakuin sekaligus ngasih kita kekuatan buat ngelewatin segala kesulitan. Awalnya mungkin berat, tapi kalo udah ngebiasain diri dengan tekad, kita enggak bakal gampang ngerasa sakit atau terpuruk. Contohnya Sang Buddha yang telah mencapai penerangan sempurna dengan tekad dan semangat virya Beliau yang luar biasa.
Itu berarti, kita harus tahu kapan harus berjuang, dan kapan harus melepas [2].
Pilar 2 & 3. Kegembiraan dari Hal-hal Kecil dan Hadir di Tempat dan Waktu Sekarang.
Hal kecil apa yang bikin bahagia? Mari ambil contoh ngeliatin orang senyum.
Karena senyum orang itu nular, kita jadi termotivasi buat senyum juga.
Kita bangun pagi-pagi terus mulai nyapa orang sekitar sambil senyum. Kita senyum sama diri kita di kaca, “Bakal asik nih hari ini!” Bahkan, saat telponan atau ngerjain apa pun kita senyum. Intinya, kita jadi senyum kapan aja.
Apa yang terjadi?
Badan kita auto rileks dan kita jadi bahagia dengan apa aja yang kita kerjain hari itu. Alhasil, kita enggak akan mikirin ini kapan selesai atau kenapa kita mulainya telat. Perhatian kita cuma mengarah pada apa yang lagi kita kerjain.
Sang Buddha juga sama orang-orang pada zaman itu dideskripsikan sebagai “senantiasa-tersenyum” atau mihitapubbamgama. Makanya, kita sebagai Buddhis enggak seharusnya sedih, marah, atau enggak sabaran pas ada penderitaan, apalagi sampai berlarut-larut, karena itu enggak bermanfaat dan bikin penderitaan itu bertambah. Lebih baik kita memahami adanya penderitaan itu, dari mana asalnya, gimana melenyapkannya, dan melakukan cara untuk melenyapkannya dengan kesabaran. Senyum juga nunjukin kegembiraan atau piti, yang diperlukan buat mencapai Nibbana [4].
Pastinya pilar yang tadi masih enggak jauh-jauh dari pilar terakhir, yaitu Menjaga Keselarasan dan Kesinambungan dan Membebaskan Diri.
Kita jadi menyatu dengan apa yang kita kerjakan. Kita enggak mikirin imbalan eksternal.
Upacara minum teh di Jepang misalnya, mengharuskan pemilik tempat atau master teh buat siapin segala sesuatunya dan nata ruangan yang akan dipakai. Tapi, itu semua mereka lakukan berhari-hari cuma biar pengunjungnya merasa rileks. Pengakuan dan pujian cuma bonus bagi mereka.
Kenapa bisa begitu? Karena mereka melepaskan ego untuk mencapai kondisi selaras dan menyatu itu [1]
Oke, ada satu contoh lagi.
Kuil Meiji di Tokyo udah berdiri sejak 1920. Tapi, dulu tanah di sekitar kuil tandus banget. Untuk itu, tanah di sekitar kuil udah ditanami pohon pada dekade sebelumnya. Itu pun pastinya butuh perancang taman, ahli botani, sampai donatur yang ngirim bibit pohon untuk ngasih penghormatan kepada mendiang Kaisar.
Sekarang, 100 tahun kemudian, pohon-pohon itu udah tumbuh jadi hutan buatan. Dan, hutan itu banyak dikunjungi buat ngeteh, meditasi, juga tempat hidup elang dan hewan langka. Kalau ada dedaunan yang jatuh, penyapu jalan bakal balikin daun itu lagi ke pohonnya buat dijadiin pupuk [1].
Jadi sebenernya, semua orang dan semua makhluk ikut membangun Kuil Meiji. Begitu juga semua orang dan semua makhluk ikut nyiapin upacara minum teh, dan seterusnya. Di sana enggak ada keserakahan, kebencian, dan ke-aku-an. Kalau kita cuma pengen pujian, berarti seharusnya, semua orang dan semua makhluk ikut dipuji [5].
Ternyata, ikigai juga bisa dijelasin secara Buddhisme ya! Yuk, kita coba praktekin ikigai dan Dhamma buat nemuin tujuan hidup!
Referensi:
[1] Mogi, Ken. (2021). The Book of Ikigai cetakan ke-6. Noura Publishing. Jakarta.
[2] https://www.buddhistinquiry.org/article/practicing-the-middle-way-devadaha-sutta/
[3] Alcoriza, Arvin. (2016). A Life Worth Living in the Buddhist Perspective. De La Salle University
[4] Demieville, Paul & Walpola Rahula. (2017). What The Buddha Taught. Motilal Banarsidass. New Delhi.
[5] https://buddhistworship.com/writings/detail/24