Buddhist Worship
Senja baru saja—eh, bukan begitu.Itu adalah kalimat pertama bagian kedua dalam novel romansa di hadapan Vivi.Dia buru-buru mengumpulkan puing-puing kesadaran setelah menyadari dia ketiduran.Romansa selalu menyebalkan untuknya, tetapi dia terpaksa membacanya untuk menjaga kesehatan otak.Akhir-akhir ini alat berpikirnya itu sedang mengalami korsleting. Itu sudah status awas bagi kelangsungan hidupnya—dia bisa dipecat dari pekerjaannya sebagai admin keuangan!
“Kurang kerjaan banget gue baca beginian, cari penyakit baru.”Vivi memijat pangkal hidungnya perlahan.
Tadinya dia berharap tubuhnya sudah memproduksi hormon endorfin yang cukup untuk meningkatkan kinerja sel tubuhnya.Nyatanya, novel yang dia baca justru menambah kengerian pada masalah hidupnya saat ini.“Kenapa si cewek tiba-tiba ninggalin cowoknya?Terus apa gunanya uwu-uwu di bab satu tadi!”
Ah, bisa tambah gila gue, gerutu Vivi dalam hati kemudian memutuskan keluar kamar untuk mengambil camilan manis—pertolongan pertama pada stres. Sayang, stresnya sudah bertambah sebelum oksigen di luar kamar sempat dihirupnya.Dia tidak bisa melangkah karena ada seseorang yang ternyata telah mengamatinya sejak tadi. Seseorang yang sedang menginap selama seminggu sebelum kembali berkutat dengan pekerjaannya di Surabaya.
“Lo ganti bacaan lagi?”Suara datarnya memang terdengar biasa di hari-hari yang lalu. Sekarang, Vivi merasa jika sang pemilik nada bass itu sedang meledeknya.
“Permisi ya, Vio Ganteng.Gue mau keluar,” sungut Vivi yang langsung dibalas dengan kekehan.
“Bilang lagi yang bagus, Non. Teriakan lo udah ganggu tidur berharga gue. ‘Koko Vio, permisi, Vivi mau keluar.’”
Vio semakin sengaja menutupi jalan menuju kebahagiaan Vivi sambil melebarkan senyum.Kontras sekali dengan suaranya yang tetap datar, membuat Vivi ingin mengeluarkan tinju.
“Eh, inget, lo cuma lebih tua tiga menit dari gue.Lagian suara gue nggak sekeras itu deh.Sekarang, minggir!”
Secara mengejutkan, tenaga pas-pasan seorang Vivian Paramita Candana berhasil menggeser tubuh kekar di hadapannya.Tidak, pria harus selalu mengalah, tindakan yang dilakukan Vio kalau sudah melihat mood saudari kesayangannya itu memburuk. Sambil lagi-lagi terkekeh, Vio mengikuti Vivi yang kini sudah duduk di kursi meja makan menikmati keripik kentang dan susu kedelai dingin.
“Cumik su, Non? Lo kenapa? Udah malem loh. Tumben nggak tidur, malah ngemil,” tanya Vio setelah ikut-ikutan mengambil sebungkus kacang telur dari kulkas. Maklum, Vivi sangat menjaga pola makannya, jadi makan setelah lewat pukul delapan malam adalah pantangan besar.Namun, jarum panjang hampir menunjuk ke angka dua belas dan Vivi ada di hadapan Vio seperti zombie.Apalagi Vio tahu saudarinya adalah tipe makhluk yang suka menenangkan diri dengan tidur.
Vivi meneguk minumannya, sejenak menambah asupan manis agar tetap waras, kemudian menatap Vio tanpa langsung menjawab. Yang ditatap sudah bersiap mendengarkan, tetapi—
“Jangan ngomong Hokkien!”
Vio langsung menyemburkan tawa keras yang buru-buru tertahan setelah Vivi menutupi mulutnya secara paksa.
“Papa Mama udah tidur ya, please.”
Dengan begitu, berkuranglah satu kesempatan berharga Vio untuk bertanya dengan normal—tanpa membuat kemarahan Vivi tersulut.Dia setengah mengingat kalau Vivi tidak bisa berbicara bahasa leluhur mereka itu dengan fasih, bahkan kalimat singkat seperti tadi.
“Iya, iya, jadi cu—“ Vivi melotot, sebelum Vio melanjutkan dengan senyum, “Kenapa, Non?”
Vivi mengembuskan napas kasar, tampak frustrasi.
“Lo siap gue beritau?Jangan ngetawain gue. Sebenernya gue males cerita sama lo karena lo cowok.”
Vio melongo.Jika seperti biasa masalah Vivi ada hubungannya dengan pria, kenapa kali ini dirinya tidak diberitahu pertama kali?
“Kok gitu?Gue orang keberapa yang lo ceritain?”
“Lo orang ketiga.”
“Oh, berarti lo udah cerita ke dua temen cewek lo?”
“Yang satu sih cowok.”
Vio berhasil menyamakan kedudukan, alias sekarang dirinyalah yang memupuk kejengkelan.
“Kenapa temen cowok lo diberitau sedangkan gue nggaaak?”
Mental Elvio Sikkha Candana, seorang pria matang berusia seperempat abad, terguncang begitu saja. Dia langsung mengacak-acak rambut Vivi sampai menyerupai singa.
“Aduuuh! Iya sori! Lagian lo bakal jadi orang terheboh di dunia kalo tau!” ujar Vivi dengan panik.
Vio menghela napas.Mengulik jawaban lengkap dan masuk akal memang sudah menjadi spesialis pria.
Tangan Vio berhenti, kemudian beralih untuk menjitak pelan dahi mungil Vivi.Untung kali ini Vivi sudah jinak, hanya mengaduh singkat dan merapikan rambutnya.
“Cerita, Non.”
Vivi spontan mendongak seperti bayi singa siap diberi makan.“Gue dideketin cowok.”
“Dan …?”
“Dia juga ada di grup Tongkrongan.”
“Uh-huh …?”
“Dia mau kami pacaran dalam tiga hari.”
“Oke, I got it, jadi gitu … HA? LU SI KONG HAMIK1?”
***
Vivi menarik selimut dan menurunkan suhu pendingin ruangan. Makan tengah malam ditambah mendengar ocehan Vio membuatnya semakin gila.Dia buru-buru meninggalkan ruang makan ketika Vio sedang mencak-mencak dalam bahasa Hokkien, sepertinya menuntut penjelasan.
“Kong heng2, Non!Ie si hamang3?Cumiksu ane khuan4?”
Boro-boro menjawab, tahu artinya saja tidak.Jadi, Vivi memilih untuk berpamitan secara kilat dengan dalih “besok gue ceritain” dan kembali ke habitatnya.
Percuma melanjutkan novelnya kalau otaknya semakin galat. Agar mengantuk, dia memilih untuk mengganti bacaannya—percakapan di aplikasi chatting--.
Mari kita analisis, batinnya sambil menggulir layar ponsel untuk mencari sebuah nama di aplikasi chatting berwarna hijau asal Jepang.
Jeremy Lazuardi Garu. Sang tersangka yang membuat Vio kebakaran jenggot.
“Lo tinggal di mana?Besok gue jemput,” Jeremy memulai.
Vivi ingat.Itu adalah momen ketika jantung Vivi berhenti.
“HAH? Di-chat beneran dong! Mau ngapain sih?”
Memang, Vivi terbilang sudah memasukiusia waspada. Dia mulai iri mendapati teman-teman yang lebih muda darinya sudah menggandeng tangan pasangan dengan mesra.Bahkan akhir-akhir ini, dia mulai rutin mendapat kabar bahwa teman-teman sekampusnya dulu sudah menikah.Maka, bergabung dengan Tongkrongan Pencari Doi adalah jalan ninja Vivi untuk mencari jodoh. Sebuah grup dengan lima puluh anggota yang memang dikhususkan untuk menyirami benih cinta para anggotanya. Beruntung Vivi bergabung ketika grup itu sedang membuka pendaftaran anggota di Instogran.Supaya lebih eksklusif, Tongkrongan tidak dibuka untuk umum.
Bergabung dengan Tongkrongan memang keputusan paling tepat, batinnya kala itu.Kini dia harus menelan kembali perkataannya.
“Makan.Nggak boleh nolak loh, ya?Sini, mana alamat lo.”
Aduuuh, kenapa sih tadi gue mancing dia chat?Bangunin macan tidur! hardikVivi dalam hati seraya menendang-nendang selimut.
Tongkrongan sudah menjadikan dirinya wanita agresif, misalnya menantang pria di grup untuk menghubunginya duluan agar bisa berkenalan lebih lanjut.Hal yang seumur hidup belum pernah dilakukannya karena gengsi.
Pantas saja Vio—yang memang turut bergabung untuk memantau dirinya—kerap menyindirnya di grup. “Wah, banyak yang suka sama lo nih, Non! Chat lo udah kayak asrama cowok ya? Gue dikacangin mulu.”
Vio tidak suka wanita agresif, Vivi tahu itu.Namun, sampai kapan dia mau diam saja seperti burung di sangkar?Meskipun begitu, dia tetap menghormati diri sendiri dan keluarganya dengan tidak keluyuran berdua saja dengan pria yang masih benar-benar asing.
“Gue ngajak saudara gue ya?”
“Duh, kita kan mau nge-date?Ya udah, kenalin gue ke dia dong.Siapa namanya?Besok gue samperin sekaligus minta restu.”
Vivi bergidik ngeri, sejenak mengingat barangkali itu karmanya karena kerap menghebohkan Tongkrongan dengan aksinya menggaet pria.Yaitu, dia dikejar oleh pria yang sama-sama agresif.
“Heh, selow.PDKT itu pelan-pelan.Baru kenal udah minta restu aja.”
Tetapi, Vivi memutuskan menghentikan kegiatan tidak berfaedahnya itu setelah membaca pesan terbaru yang hanya dibalasnya dengan berpamitan tidur.Malam memang semakin larut, dan jantungnya semakin tidak bisa diajak kompromi, entah oleh ketakutan atau rasa malu.
“Memang kita baru kenal, tapi di kehidupan sebelumnya siapa yang tau? Yang pasti, sekarang gue tertarik sama lo.”
Cowok gila!
***
“PAGI, PIPIANA!”
Belum sempat alarmnya berbunyi, Vio sudah membuka pintu kamarnya dengan serampangan, membuat Vivi terjaga satu jam lebih awal.
Darah Vivi spontan mendidih ketika melihat kembarannya.Namun, dia tidak punya tenaga untuk menyemburkan kemarahannya. Dia baru tertidur jam dua, itu berarti dia hanya tidur selama empat jam.
“Pagi apaan?Masih subuh, bye,” sergah Vivi kembali menarik selimut.
“Hei hei, lo masih utang penjelasan sama gue ya. Inget.”
“Iya iya nanti …,” Vivi bergumam jengkel, setengah bersyukur karena Vio kembali menutup pintu dengan gerakan halus.Setengahnya lagi heran dengan tingkah Vio yang semakin luar biasa.
Vio memang tipe pencemburu berat, hal yang sangat aneh ketika Vivi sadar kakak laki-laki teman-temannya tidak seekstrem itu menanggapi calon adik ipar.Karena itu, Vivi sempat mengira dirinya adalah bayi yang tertukar seperti di film-film, menjadikan Vio bukanlah saudara kandung, melainkan saudara tirinya yang kebetulan berwajah mirip dengannya.
Meskipun Vivi kerap meminta pendapat Vio mengenai pria, dia masih sering berpikir beberapa kali sebelum menguak rahasianya.Alasannya hanyalah agar Vio tidak semakin heboh dari waktu ke waktu. Tidak masuk akal jika Vio kembali menyuruhnya beralasan “tidak kuat LDR-an” jika kelak ditanyai secara mendadak oleh manusia-manusia penasaran, hanya karena di-ghosting oleh sang mantan gebetan. Oh, atau sengaja disindir habis-habisan di grup kalau Vivi pernah “menyukai cowok beda agama”? Vivi tidak mau.
Jika Vio selalu ikut campur dalam masalah cintanya, dia juga harus demikian agar adil.Hal yang paling malas dilakukannya karena Vio sangat jarang menyukai wanita.Lebih tepatnya, tidak bisa membedakan antara suka atau hanya sekadar teman.Udah berapa banyak cewek yang patah hati dan mundur teratur gara-gara Vio? Ratusan!
“Non, kata Vio, kamu bentar lagi punya pacar?”
Blar! Lamunan Vivi buyar tanpa dia mampu tertidur.Spontan dia menegakkan tubuh bagaikan tentara lupa jadwal perangnya.
“Ma-Mama?”
Pintu kamarnya sudah terbuka, dengan sosok ibu dan Vio yang berkacak pinggang dan tersenyum penuh kemenangan.
“Mana orangnya? Mama mau lihat dong fotonya.”
“Aku juga, Ma!”
Vivi mendelik pada sang kembaran yang terkekeh.
“Ma, kami belum pacaran.Dia dulu yang deketin.”Dengan enggan, dibukanya aplikasi Instogran untuk menuruti permintaan keduanya sambil menjelaskan selengkap mungkin.
“Aduuuh, gagah gini loh! Mirip orang Jerman! Pekerjaannya juga oke!”
Vivi dan Vio spontan menjadi anak kembar yang sesungguhnya—mereka sama-sama berteriak histeris.
Mama hanya tertawa melihat tingkat keduanya yang sibuk berdebat tentang siapa yang paling tampan, membandingkan Jeremy dengan Vio dan seorang aktor kesukaan Vivi.
Untung adegan itu tidak berlangsung hingga Vivi dan Vio saling mencubit, karena Mama dengan sigap melerai keduanya menggunakan suara pamungkas “Mama mau ngomong bentar” untuk membuat keduanya mematung.
“Vivi.”
“… ya, Ma?”
“Mama setuju-setuju aja. Yang Mama nggak setuju adalah kalo kamu langsung pacaran.”
Ucapan Mama langsung dibalas anggukan mantap dari Vio.
“PDKT itu pelan-pelan, Non. Jaman Mama dulu, enam bulan aja Mama nggak yakin mau terima kalo ditembak,” ujar Mama dengan santai, bangga akan masa mudanya ketika dia menjadi gadis populer di sekolah. Kedua anaknya hanya melongo.
“Astaga, kenapa aku nggak bisa populer kayak Mama?Kalo gitu mah tinggal pilih!”Vivi menggaruk kepalanya yang sebenarnya sudah dikeramasi tadi malam.
“Enak aja lo.Gue perlu seleksi dulu calon adek ipar gue,” sungut Vio.
“Kalo kamu, nggak kunjung PDKT karena susah milih calon.” Mama memberi sekakmat dengan cantiknya kepada Vio. Vivi pun menambahi dengan tertawa keras yang sama sekali tidak cantik.
Namun, tertawanya harus berhenti karena ponselnya tiba-tiba berbunyi. Ajakan untuk video call dengan sang tersangka itu lebih menyeramkan dibandingkan notifikasi barang favorit Vivi yang terjual habis.
“Non, minta chat aja.” Vio langsung mengarahkan dengan sigap.Vivi yang nyawanya terasa melayang sejenak, langsung menurut.
Perlu waktu sekitar lima belas menit untuk bersilat huruf dengan Jeremy. Apalagi, mengingat ini adalah kejadian luar biasa yang baru dialami Vivi seumur hidup perjalanan cintanya.
Sampai akhirnya, Jeremy setuju dengan keputusan Vivi yang sebenarnya ditunggangi oleh Vio.
“Oke.Kita PDKT dulu tiga bulan.Biar lampu ijo.”
Vivi melirik Vio.Saudara kembarnya hanya mengembuskan napas lega, membuat Vivi tersenyum geli.
“Koko Vio, kamsia, wish me luck.” Vivi mencubit pipi Vio dengan perlahan, kemudian meninggalkan kamarnya untuk sarapan.
Sang pemilik pipi tetap bergeming meskipun wajahnya mulai memanas.
“Makanya gue sulit cari calon.Gue nyari yang lebih manis daripada lo,” gumamnya.
***
Vivi berniat melanjutkan bacaan novelnya yang terbengkalai.Namun, satu kalimat pun rasanya tidak kunjung merasuk dalam otaknya.Tekadnya seratus persen lenyap begitu ponselnya membunyikan notifikasi dari Tongkrongan.
Semalaman ini, Vivi seolah berkencan dengan benda pipih persegi itu untuk bertugas sebagai satpam di Tongkrongan.Grup itu selalu ramai setiap malam mulai dari pukul tujuh. Tentu saja Vivi hanya hendak mengawasi satu orang di antara setumpuk pesan yang tersebar di sana, Jeremy.
Jika Jeremy sudah mengutarakan ketertarikan padanya, kenapa dia masih sering membalas pesan wanita lain?
“Masa nggak bisa dibiarin aja sih itu chat cewek-cewek? Atau dibales singkat kek!” oceh Vivi sambil mendidihkan isi kepalanya.
Dia tidak tahu Jeremy sepopuler itu hingga banyak yang sengaja menyapanya!
Semakin Vivi mengamati jalannya pesan grup bagaikan kamera CCTV, urat kesabarannya makin memendek.Dengan serampangan, dia memutuskan untuk “menampakkan diri”.
“Populer banget ya lo.”
Cukup satu kalimat untuk menarik perhatian Jeremy.Sang tersangka langsung mengirimkan pesan pribadi pada Vivi.
“Hayo, cemburu ya?”
Andai saja yang di tangan Vivi itu bukan ponsel, dia pasti sudah membantingnya.Jadi selain menenangkan lengannya, dia pun menjaga agar jemarinya tidak ikut menyemburkan kemarahan.
“Don’t worry, mereka biasa aja kok. Kebanyakan bahkan cuma nyapa doang,” ujar Jeremy setelah Vivi melancarkan pesan yang super singkat, “Ya gitu.”
Karena malam sudah semakin larut, Vivi memilih untuk mengalah dan memercayai Jeremy. Perutnya mendadak mual dengan pikiran-pikiran liar yang kembali menghantuinya. Mematikan ponsel, Vivi bergumam pada dirinya sendiri agar bisa tidur nyenyak malam itu.
Sayangnya, tubuh Vivi yang seharusnya segar saat terbangun, seolah mengkhianatinya dengan memberinya pegal-pegal. Vivi melirik jam dinding yang masih menunjukkan pukul dua. Setelah gagal kembali ke alam mimpi selama setengah jam, Vivi memutuskan untuk menyalakan ponselnya.Dia mencoba menenggelamkan diri dalam Tongkrongan agar mengantuk.Grup itu sudah sepi, hanya ada beberapa orang yang masih bercengkerama.Jemarinya menggulir ke atas, mencari pesan yang telah dia lewatkan.
Hawa dingin menyergap dirinya saat matanya menangkap pesan-pesan yang seharusnya tidak dibacanya.
“Ah bisa aja.Aku belom punya pacar kok.”
“Masa sih?Nggak percaya.Ganteng gitu.”
“Makanya sini kenalan.Jangan naksir tapi.”
Di layar persegi itu, Jeremy tengah bercanda dengan seorang wanita satu jam yang lalu.Hanya mereka berdua sehingga Tongkrongan benar-benar terlihat seperti ruang pribadi.
Jemari Vivi bergetar.Apa ini? Kenapa jadi begini?Tidak, dia tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
Jeremy sudah memilihnya, bukan?
Cepat-cepat Vivi menekan tombol yang menghubungkan dirinya dengan Jeremy, lantas mengetikkan pesan dengan secepat kilat.
“Hei, lo udah tidur?”
Bodo amat sama jam tidur gue. Ini harus diberesin, gumam Vivi.
“Loh, katanya lo mau tidur?”
“Micky itu temen lo?”
“Hah? Micky yang mana?
Jangan pura-pura nggak tau! Vivi ingin menyembur, tetapi diurungkannya.
“Lo seru banget ngobrolnya.”
“Oh … yang itu.Bukan siapa-siapa kok.Kenapa?”
Nih anak masih ngomong kenapa kenapa kenapa?
“Jeremy, heh. Lo serius nggak sih sama gue?”
Hening, tetapi status Jeremy berubah dengan segera.Dia sedang merekam audio.
“Terserah lo mau mikir gue kayak gimana, Vi. Intinya, gue join Tongkrongan murni karena pengen nyari temen. Gue awalnya nggak ngarah ke situ, tapi habis liat lo, gue rasa lo orang yang tepat.”
Durasi audio itu kurang dari sepuluh detik, tetapi cukup membekukan darah Vivi.Pasalnya, suara Jeremy kelewat dalam dan rendah, seperti sedang memperingatkan, bukan menenangkan.
“Gue memang tertarik sama lo.Gue pingin bangun hubungan yang serius.”
Vivi menghela napas dengan pelan. Udara kamar terasa makin dingin bersamaan dengan jemarinya yang susah payah berhasil digerakkannya.
“Besok, chat lo yang serius. Kita jangan bercanda mulu.Susah bedain lo lagi serius atau bercanda.”
“Sure. Guess I can start loving you.”
Entah kenapa, huruf-huruf itu membuat Vivi ketakutan.Ingatan yang selalu dikuburnya mulai memanggil dari masa lalu.
***
“Lo udah makan?”
“Udah.”
“Makan apa?”
“Nasi kuning biasa.”
“Bagi dong.
“Ogah.”
Sudah hari kedua sejak Vivi mengetik dengan model seperti itu.Juga, hari itu, bukan Jeremy yang memulai percakapan.
Vivi mengembuskan napas kasar.Pesan-pesan Vivi dan Jeremy terlihat lebih rapi dan normal, Vivi menyukainya.Namun, rasanya keadaan semakin janggal.
“Lo chatting atau interogasi, Non?” Vio melongok dari sampingnya.Hal itu sukses membuat Vivi mencak-mencak karena kaget, terlebih karena di tangan Vio ada camilan kesukaan satu-satunya.
“Iya iya iya ini gue balikiiiin!”Vivi menyambar bungkus keripik kentang berwarna pink itu.
“Jangan bikin mood gue tambah jelek, Ko.” Bibir Vivi seperti mengerucut lima sentimeter. Sementara, Vio mengetuk-ngetuk dagunya, padahal dia tidak sedang syuting video musik atau film.
“Lo memang bikin chat lo kayak gitu ya? Nggak capek?”
Vivi menghela napas.Vio memang selalu tahu isi pikirannya.
“Gue harus tahan buat liat keseriusan dia,” tegas Vivi.
“Sampe kapan?”
Pertanyaan itu sukses membuat Vivi menganga.
“Memangnya harus ada deadline-nya gitu?”
“Nggak juga sih. Ya, biar lo nggak capek batin aja. Gue liat lo kayak jalan di tempat tau nggak?” Vio mengunyah keripik dengan santai, membiarkan Vivi berpikir hingga mungkin menumbuhkan uban baru.
“Menurut lo, sampe kapan gue sama dia harus begini?” tanya Vivi lagi.
Vio tersenyum miring.Sebegitu polosnya Vivi jika sudah menyangkut tentang percintaan.
“Non Pipi.”Vio menepuk-nepuk kepala Vivi.“Sekarang aja bisa kok.”
“HAH? SI KONG HAMIK?” sembur Vivi.Di hadapannya, Vio tergelak sampai hampir tersedak.
“Heh heh, salah, Non! Mana subjeknya?”
“Nggak usah sok betulin kalimat gue deh.Jelasin dulu perkataan lo yang tadi.”
Vivi bersedekap sambil mengetuk-ngetuk di lantai kamar dengan kakinya, menandakan dia tidak sabar.
Saudara kembarnya hanya tersenyum kecil.Matanya menatap wajah Vivi yang terlihat lelah.Kemudian, dia menghela napas.Memang mereka berdua sudah dewasa, tetapi, kenapa pundak kecil Vivi-lah yang selalu menahan beratnya dunia?
“Promise me one thing,” ucap Vio dengan perlahan dan tegas, membuat Vivi mendongak sebal. Ekspresi itu tidak bertahan lama.
“Lo harus menerima apa pun yang terja--” Ucapannya terhenti oleh cengkeraman tangan Vivi di lengannya. Tidak sakit, memang, tetapi perasaan Vivi saat itu seolah bisa ikut dirasakannya.
“Oke.Siniin hape lo, gue tunjukkin.”
***
Aliran napas memang dasarnya berjalan lambat.Namun, Vivi berulang kali menghela dan mengembuskan napas dengan buru-buru.Pelipisnya dan pangkal hidungnya sakit.Oksigen ke otaknya seperti terhambat.
Masih pagi. Vio masih di sana. Orang tuanya pun demikian.Hanya saja, Vivi tidak tahu tubuhnya ada di mana.Pikirannya melebur bersama hantu masa lalu.
Matanya terus memandangi layar ponsel tanpa berkedip, berharap huruf-huruf di sana akan berubah dengan tatapannya.
“Ini … beneran?”Itu adalah pertanyaan yang ketujuh kalinya.Satu untuk Jeremy, dan sisanya untuk diri sendiri.
Sekali lagi, seseorang telah meninggalkannya.Vivi sangat tahu perasaan bisa berubah, tetapi, secepat ini? Dia bahkan belum sempat meyakinkan dirinya sendiri untuk bisa bersama sang tersangka. Baru saja dia hendak menerima segalanya—sikap Jeremy yang masih suka bercanda dengan wanita lain sertakepopuleran Jeremy di Tongkrongan--kenyataan meruntuhkannya sekali lagi. Persis seperti tiga bulan sebelumnya saat hubungan Vivi kandas.
Kenapa?Kenapa cepet banget?Kenapa lo seenaknya—
“Non?”
Vivi tersentak, buru-buru mengusap wajah untuk menyembunyikan tetesan air di pipinya, meskipun pria yang memanggilnya itu pasti akan langsung tahu keadaannya.Bagaimanapun tidak pekanya Vio, dia selalu paham masalah yang dihadapi Vivi.
Vivi memaksakan seulas senyum ketika Vio menghampiri.
“Stop, gue nggak papa.Udah biasa,” ujarnya cepat.“Gue malah ngerasa bodo banget!Iyalah, gue nembak dan akhirnya dijawab gitu hahahahah!”Vivi tertawa sambil menunjukkan percakapannya dengan Jeremy.Tanpa dia sendiri sadari, air matanya kembali mengalir, padahal tawanya belum berhenti.
“Apanya yang nggak papa?” balas Vio.
“Nggak papa lah! Dia nggak mau sama gue yang protektif, pemarah, kolot, bucin kebangetan. Gue tinggal nyari yang mau.Gampang kan?”Sekarang wajah Vivi benar-benar tidak karuan. Mungkin air matanya terasa manis, bukan asin seperti air mata pada umumnya, karena bercampur dengan tawa meski dibuat-buat.
“Gue memang dari dulu kayak gitu, makanya hubungan gue nggak ada yang bener! Harusnya gue pendem aja biar nyesek sendiri—“
“It’s okay to cry, Non.” Cukup satu kalimat untuk membuat Vivi menyingkirkan tawa dan menangis sejadi-jadinya.Vio menepuk-nepuk bahu Vivi yang kini bercerita dengan suara terpatah-patah.
“Jeremy udah nggak mau sama gue … gara-gara … gara-gara gue posesif …. Padahal gue … gue cuman nggak mau kehilangan lagi ….”
Hening beberapa saat, sebelum Vio melanjutkan kembali.Dia sangat bersyukur hari itu masih libur, jadi dia hanya berharap Vivi tidur pulas setelah ini.
“Lo posesif?”Vivi mengangguk.
“Pemarah, kolot, bucin kebangetan?” Masih dengan jawaban yang sama.
“Lo bukan itu semua, Non.”
Kali ini, Vivi membuang selimut yang tadi kembali dikenakannya.
“Gue nggak butuh ucapan penyemangat! Kesannya lo kayak nggak nerima gue tau nggak? Perasaan gue tuh valid! Nih, gue gini aja marah. Pemarah kan gue?Pantes Jeremy nggak mau sama gue!”ucap Vivi dengan nada meninggi.
Vio hanya balas mengangguk.
“I know, tapi lo lebih dari itu semua, Non.” Vivi masih memelototinya sebelum dia melanjutkan.Perasaan memang cepet banget berubahnya. Lo barusan banget nangis, sekarang ngamuk, batin Vio mengulum senyum.
“Lo bukan pemarah.Bukan juga posesif, kolot, atau itu-itu yang tadi lo sebutin.Itu bukan diri lo.Lo cuma lagi ngerasa marah, lagi takut kehilangan, lagi kecewa, lagi malu.”
“Terus bukannya itu nggak boleh?Kan Jeremy nggak mau sama gue gara-gara itu,” protes Vivi.
“Siapa yang bilang nggak boleh? Marah, sebel, takut, nggak ada yang salah sama itu, Non. Tapi … you should let them go. Jangan definisiin lo kayak perasaan yang sebenernya cuma numpang lewat doang di diri lo. Lo lebih dari itu semua, inget.”
“But he said he will love me!” Vivi kembali berdiri.Matanya menatap garang pria yang balas menatapnya dengan tersenyum, sesekali terkekeh melihat Vivi yang harus berjinjit.
“Non Viviana, adek gue yang cute.”Vio berdeham. “What is love anyway?”
“Perasaan apa pun juga … Persepsi apa pun juga, Bentukan-bentukan kehendak apa pun juga … Kesadaran apa pun juga, apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat, segala kesadaran harus dilihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar sebagai: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku."
~ Samyutta Nikaya 22.59 Anattalakkhanasutta