Back

Bersahabat dengan Diri Sendiri

Kho Edbert Putra Khodiyat @edbert_kho

Hai Buddhist Worshippers!, kita berusaha menjadi sahabat buat orang lain. Tapi  tanpa sadar kita bisa menjadi musuh buat diri sendiri. Memang bisa ya? Caranya gimana? 

Memanjakan Diri Sendiri 

Di era sekarang perkembangan teknologi sangat mempermudah kita untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Misalnya di instagram, kita lihat food blogger makan bakso aci dan sehabis liat kita jadi pengen dan langsung pesen bakso aci di dekat rumah kita. Selain itu, kita dibanjiri iklan-iklan produk-produk ditambah adanya promo diskon. Iklan-iklan ini bisa saja membuat kita untuk berbelanja tanpa mempertimbangkan apakah itu bener-bener kebutuhan kita. 

Kemudahan-kemudahan ini ibarat seperti pisau bermata dua. Di satu sisi kita bisa menggunakan perkembangan teknologi ini buat kemajuan diri kita tapi juga bisa membuat kita terlena akan nafsu keinginan kita sendiri.  Kita menjadi budak dari nafsu keinginan kita “aku harus mendapatkan ini biar aku bisa dipuji oleh temen-temenku” . Bahkan kita justru membenarkan nafsu keinginan tersebut “Karena aku sekarang sudah naik jabatan di perusahaan maka aku harus tampil beda dari yang lain”. Kita menjadi terbawa arus oleh keinginan kita sendiri dan kita melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat dengan menyakiti atau membunuh makhluk lain, mengambil barang yang bukan menjadi hak milik kita, melakukan perbuatan seksual yang salah, memfitnah, berbohong, berkata kasar, berkata yang memecah belah, meminum alkohol atau mengkonsumsi narkoba. Dengan melakukan tindakan yang tidak bermanfaat, kita sudah merugikan diri sendiri juga makhluk lain atau orang lain.

“Suka” dan “Tidak Suka”

Setting bawaan kita adalah memuaskan diri sebanyak mungkin  dan menghindari hal-hal yang tidak memuaskan. Misalnya lapar adalah suatu hal yang tidak memuaskan sehingga untuk menghilangkan rasa lapar kita akan berusaha mencari makan. Karena  masih diliputi dengan ketidaktahuan, kita dikendalikan oleh setting bawaan ini sehingga kita melihat kehidupan dari kacamata “suka” dan “tidak suka”. 

Misalnya seminggu yang lalu kita makan nasi goreng di restoran favorit kita, rasanya “enak” dan “gurih”, pokoknya the best deh. Nah kemarin kita makan nasi goreng itu ternyata rasanya berubah jadi terlalu asin lalu kita tidak mau lagi makan disitu, kita langsung menghakimi  nasi goreng dari restorannya “tidak enak”.  Rasa “enak” dan “tidak enak” ini sesungguhnya berasal dari pengalaman kita yang membentuk persepsi kita tentang nasi goreng itu dan disimpan di memori kita. Setiap kali  makan nasi goreng itu, kita menikmati nasi goreng itu dengan melakukan recall dari memori kita. Artinya tanpa sadar, kita tinggal di masa lalu padahal apapun di dunia ini selalu berubah, rasa dari nasi goreng itu tidak sama karena bisa saja yang memasak nasi gorengnya berbeda, atau kalau yang memasak itu adalah orang yang sama bisa saja hari ini dia lagi kecapekan sehingga memasaknya menjadi terlalu “asin”, dan lain-lain. 

Masa lalu yang dianggap menyenangkan, kita coba untuk menggenggamnya dan berusaha untuk mempertahankannya. Sebaliknya, masa lalu yang dianggap tidak menyenangkan, kita tolak dan pengen segera pergi darinya “aku pengen nasi gorengnya enak terus”. Pertanyaanya adalah dari dunia yang terus berubah, apakah kita bisa menggenggamnya dan mempertahankan untuk selama-lamanya? Dalam Sutra Intan, Buddha menjelaskan pikiran; masa lalu, masa sekarang, dan masa depan tidak dapat diraih. 

Mencari Identitas 

Dari perasaan “suka” dan “tidak suka”, kita dapat terjebak olehnya dan mendefinisikan diri kita berdasarkan itu. Sesuatu yang menyenangkan, kita menyukainya dan kita anggap “ini adalah aku” namun sesuatu yang tidak menyenangkan kita anggap "ini bukanlah aku". Misalnya saat kita dipuji "wah kamu keren ya" kita senang "ya aku memang keren" sebaliknya kita diejek "kamu bodoh" kita langsung bereaksi atau bahkan membalasnya. Ada "aku" yang "suka" dan "tidak" suka inilah yang membuat kesedihan, kekecewaan, kekhawatiran, kemarahan, frustasi yang tiada akhir.

Lalu bagaimana cara menjadi sahabat buat diri sendiri?

  1. Menjaga Moralitas

Moralitas dapat menjadi protokol buat kita semua dari perilaku-perilaku tidak bermanfaat yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain atau makhluk lain. Ibaratnya seperti CCTV yang menjaga perilaku kita. Lalu gimana caranya menjaga moralitas? Kita bisa setiap pagi setelah bangun tidur membaca kembali Pancasila Buddhis. Nah kalian bisa mencobanya dan rasakan manfaatnya ya. Selamat mencoba!

  1. Berlatih Meditasi

Semakin giat berlatih meditasi, kita tidak lagi dikendalikan oleh perasaan "suka" dan "tidak suka" dan kita tidak lagi melabel sesuatu dengan perasaan itu. Namun sebelum berlatih, kita harus mengerti apa tujuan kita bermeditasi karena setiap orang bisa saja memiliki tujuan yang berbeda. Setelah menentukan tujuan itu, kita bisa mencari guru yang tepat. Kalau kita belajar dengan guru yang tidak tepat  maka itu mempengaruhi perkembangan latihan kita. Selain itu yang harus juga kita lakukan adalah menjaga moralitas karena perilaku-perilaku yang tidak bermanfaat bisa menjadi gangguan saat berlatih meditasi.

  1. Mengembangkan Kebijaksanaan

Kebijaksanaan adalah harta yang tidak bisa ditukar oleh apapun. Pastinya keren banget ya! Kita bisa mengembangkannya dengan rajin membaca sutta, mendengarkan ceramah, dan berdiskusi Dhamma. Namun itu semua baru awal aja nih dengan mendapatkan pengetahuan secara teori. Jadi setelah  rajin melakukan hal-hal tersebut, kita berlatih meditasi. Dengan bermeditasi, kita mendapat pengertian langsung akan empat kebenaran mulia.

Itu tadi tiga cara untuk bersahabat dengan diri kita sendiri, cara ini tidak dipraktekkan salah satu aja ya tapi ketiganya karena sudah jadi satu paket. Selamat berlatih dan menjadi sahabat buat diri sendiri.


Referensi

Haidt, Jonathan. 2006. The Happiness Hypothesis. New York, NY: Basic Books.

https://suttacentral.net/mn9/en/sujato?layout=plain&reference=none¬es=asterisk&highlight=false&script=latin